HumasUPNVJ - Dr. Heru Sugiyono, S.H., M.H. yang merupakan Dosen Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta sekaligus sebagai Praktisi Hukum menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan Seminar Kebangsaan yang diselenggarakan di Situs Persada Soekarno, Kediri, tanggal 18 Agustus 2025.
Seminar Kebangsaan ini merupakan bagian dari rangkaian acara "Ruwatan Negara: Menyambut Indonesia Mercusuar Perdamaian Dunia”. Ruwatan bukan sekadar seremoni, melainkan bentuk rasa syukur atas berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Sebagai Keynote Speaker dalam Seminar Kebangsaan, Brigjen. Pol. Langgeng Purnomo, S.I.K., M.H. yang merupakan Kepala Biro Pembinaan Karier Staf Sumber Daya Manusia (Karobinkar SSDM) Mabes Polri menyampaikan “Bangsa Indonesia lahir berkat perjuangan yang diridhoi Ilahi. Keimanan, kemanusiaan dan rasa cinta tanah air melebur menjadi kekuatan menuju pintu gerbang kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.” Beliau menegaskan, Cinta tanah air yang sejati merupakan benteng negara untuk menyelamatkan NKRI yang didirikan semenjak pada 18 Agustus 1945, walaupun setetes air mari kita wujudkan kebaikan untuk Indonesia.
Sebagai narasumber pertama, Prof. Anhar Gonggong, sejarawan Nasional menyampaikan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan pada 18 Agustus. Negara dikatakan sudah ada dengan tiga syarat : Konstitusi berupa Undang-Undang Dasar 1945, Ada pengelola negara yaitu Presiden dan wakilnya, dan ada wilayah yang ditentukan setelah dinyatakan merdeka. Menurutnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan pada 18 Agustus 1945, setelah kemerdekaan Bangsa Indonesia disampaikan oleh Sukarno Hatta pada 17 Agustus 1945. Narasumber kedua Sri Purba S.H., M.H selaku Dosen Hukum Tata Negara Universitas Bung Karno menyampaikan dalam paparannya tentang bentuk pemerintahan saat 18 Agustus 1945 yang dianut saat itu.
Selanjutnya narasumber ketiga, Dr. Heru Sugiyono S.H., M.H. yang merupakan Dosen Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta sekaligus Praktisi Hukum, menyampaikan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan yang diperingati setiap 17 Agustus merupakan momen sakral bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, dalam praktiknya, di masyarakat maupun instansi resmi, terdapat perbedaan penyebutan yang berpotensi menimbulkan kekeliruan historis dan konstitusional. Banyak pihak menyebutnya sebagai “HUT Kemerdekaan Republik Indonesia”, padahal secara historis, Proklamasi 17 Agustus 1945 menyatakan kemerdekaan Bangsa Indonesia dari penjajahan, bukan kemerdekaan bentuk negara tertentu. Bentuk Republik Indonesia baru ditegaskan kemudian dalam UUD 1945 sebagai konsekuensi dari kemerdekaan tersebut. Menurutnya, Kekeliruan ini meskipun tampak sederhana, memiliki beberapa implikasi, diantaranya: mengaburkan makna asli Proklamasi yang merupakan puncak perjuangan bangsa, bukan sekadar deklarasi bentuk negara; Menyebabkan generasi muda mempelajari narasi yang kurang tepat, sehingga kehilangan pemahaman utuh tentang perjalanan bangsa; dan berpotensi bertentangan dengan semangat Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan “Kemerdekaan bangsa Indonesia”. Oleh karenanya, diperlukan upaya meluruskan dan menegaskan kembali penyebutan resmi peringatan kemerdekaan sesuai fakta sejarah dan semangat konstitusi, termasuk melalui mekanisme hukum seperti pengujian di Mahkamah Konstitusi. Dr. Heru menambahkan, Mahkamah Kontitusi melalui putusannya Nomor : 66/PUU-XII/2024 tertanggal 3 Januari 2025, pada halaman 103 alinea 3, telah memberikan pertimbangan hukum: Perbedaan redaksional penyebutan redaksi “Proklamasi Kemerdekaan” menunjukan disharmonisasi antara UU 24/2009 dan UU 9/2010.
Oleh karena itu, diperlukan harmonisasi peraturan perundang-undangan oleh pembentuk undang- undang in casu DPR dan Presiden yang dilakukan secara komprehensif atas adanya dua perbedaan redaksi dimaksud, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman sejarah dalam penamaan peristiwa dan momen bersejarah bangsa, khususnya proklamasi. Dalam hal ini menurut Mahkamah, pembentuk undang-undang perlu menemukenali apakah masih terdapat undang-undang yang memuat perbedaan nomenklatur yang sama atau tidak. Hal ini tentunya memerlukan sebuah kajian dan penelusuran lanjutan yang perlu dilakukan agar tidak terjadi perbedaan makna dalam memahami sejarah bangsa. Sebagai narasumber penutup Prof.Tries Edy Wahyono penulis buku “17 Agustus 1945 Negara Indonesia BELUM ADA” menyatakan Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai pernyataan Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang sedang terjajah.
Bangsa Indonesia pada saat proklamasi tanggal 17 belum ada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurutnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri 18 Agustus 1945 dan pemerintah negara Republik Indonesia baru ada setelah ditetapkan bentuk Negara Republik serta ditetapkannya presiden dan wakil presiden pada tanggal 18 Agustus 1945 pada sidang pertama PPKI. Jadi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 bila diartikan sebagai proklamasi kemerdekaan negara Republik Indonesia maka itu pernyataan tidak tepat. Pernyataan yang benar kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945 dan saat 17 Agustus 1945 belum ada negara dan berarti belum ada pemerintah yang sah.