Refleksi 20 Tahun MOU Helsinki: UPNVJ Gelar Seminar Internasional

seminar_internasional_UPNVJ12.JPG

HumasUPNVJ - Dua dekade setelah penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) pada 15 Agustus 2005, yang mengakhiri konflik bersenjata antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), warisan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama hampir 30 tahun masih membutuhkan penyelesaian keadilan yang layak. Untuk membahas isu ini, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) menggelar diskusi publik bertajuk “Laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh dan Bedah Buku Resisting Indonesia’s Culture of Impunity” pada Senin, 8 September 2025, di Auditorium Bhinneka Tunggal Ika, Jakarta.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UPNVJ bekerja sama dengan Program Studi Magister Ilmu Politik, Center for Citizenship and Human Rights Studies (CCHRS), Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (HIMAPOL) UPNVJ, Asia Justice and Rights (AJAR), dan KKR Aceh. Diskusi ini bertujuan memfasilitasi dialog kritis tentang keadilan transisional pasca-konflik Aceh, dengan fokus pada laporan KKR Aceh bertajuk Peulara Damèe: Merawat Perdamaian.

Dalam sambutannya, Dr. Ardli Johan Kusuma, pengamat politik dan dosen UPNVJ, menegaskan bahwa MoU Helsinki bukanlah akhir, melainkan awal dari komitmen untuk menjalankan keadilan transisional. “Pembentukan KKR Aceh merupakan langkah penting untuk memenuhi hak atas kebenaran, keadilan, dan reparasi bagi korban. Diskusi ini menjadi wadah untuk memastikan komitmen perdamaian terus terjaga,” ujarnya.

Diskusi menghadirkan empat narasumber ahli, yaitu Afridal Darmi (Komisioner KKR Aceh Periode I), Masthur Yahya (Ketua KKR Aceh), Abdul Haris Semendawai (Wakil Ketua Komnas HAM RI), dan Dr. Sri Ayu Wahyuningroem (Direktur CCHRS UPNVJ). Acara diikuti sekitar 100 peserta, termasuk mahasiswa program magister dan sarjana Ilmu Politik UPNVJ, yang berpartisipasi aktif melalui sesi tanya jawab.

IMG_0111.JPG
Abdul Haris Semendawai (Wakil Ketua Komnas HAM RI)

Afridal Darmi menyoroti pentingnya laporan KKR Aceh dalam mengungkap kebenaran pelanggaran HAM masa lalu. “Laporan ini menjadi alat untuk memperkuat perdamaian melalui pengungkapan fakta, rekonsiliasi, dan rekomendasi reparasi sesuai standar universal,” katanya. Ia menambahkan bahwa laporan tersebut mendokumentasikan 10.652 pelanggaran HAM antara 1976-2005, termasuk penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, kekerasan seksual, pembunuhan, penghilangan paksa, dan perusakan properti.

Masthur Yahya, Ketua KKR Aceh, menjelaskan upaya KKR dalam meredam luka pasca-konflik melalui pendekatan lokal keadilan transisional. “Kami fokus pada pengungkapan kebenaran, rekonsiliasi, dan reparasi komprehensif untuk memutus rantai dendam,” ujarnya. Sementara itu, Abdul Haris Semendawai menegaskan bahwa pelanggaran HAM bersifat abadi dan tuntutan keadilan akan terus hidup jika tidak diselesaikan. “Keadilan harus ditegakkan, meski puluhan tahun berlalu,” tegasnya.

Diskusi ini berhasil menciptakan ruang dialog yang menghubungkan pengalaman korban, hasil kerja KKR, dan perspektif akademik. Melalui kolaborasi ini, UPNVJ menegaskan komitmennya untuk mendukung keadilan transisional dan perdamaian berkelanjutan di Indonesia, khususnya pasca-konflik Aceh. Kegiatan ini juga memperkuat peran UPNVJ sebagai pusat kajian kewarganegaraan dan HAM yang mendorong refleksi kritis untuk masa depan bangsa.

Berita Sebelumnya

Assessment Surveyor Indonesia Lakukan Kajian Perbandingan PTN-BLU dan PTN-BH di UPNVJ

Berita Selanjutnya

20 Tahun MoU Helsinki: UPNVJ Bedah Buku Resisting Indonesia’s Culture of Impunity